Kamis, 01 Oktober 2015

CERPEN KAOS KAKI BAU





KAOS KAKI BAU

Matahari lebih cepat naik di antara rimbun daun. Tergagap tiba-tiba, tubuhku terlempar menggelinding, tersungkur di bawah dipan tepat di samping sepatu tua yang tersimpan kaos kaki bolong itu. Aku mendengar sayup suara dari jauh, di udara yang belum lumpuh seluruh, merambat kian dekat ingin mencumbu dengan perih dalam benakku. Tubuhku diam tak bergeming  meresap ke mimpi anak-anak selembut kabut bukit di ujung sana. Mataku merekam sajak-sajak penyair tanpa pembaca, sambil menahan rasa pedas di hulu hati. Terpana seketika tak kutemui bau kaos kakimu. Tak ada apapun, kecuali sunyi sajakku.
“Aku rindu padamu kakek tua, dasar pengecut, kau tak berani membawaku serta!” gerutuku lirih, jenuh melawan waktu menahan rindu yang meruyak tumbuh. Sejenak kupandang jauh gugus awan beringsut yang serupa perahu butuh melabuh. Biarlah kutulis sebisaku perjalanan, dimana kau rampas sesuatu yang selalu mengingatku tentangmu, kaos kaki bolongmu tak lagi bau karena kau bawa serta dalam nisan kayu kecil, di barat kampung sebelah. Sejenak mataku nanar menuju bertahun lalu, ketika semua masih tertulis dengan kata “kami”.
Sekolah Rakyat (Schakel School) yang dua tahun telah menjadi tempat kami belajar membaca, menulis, bahasa (daerah/melayu), dan berhitung begitu sepi. Gedung yang terlalu kecil, kurang penerangan, kurang ventilasi, lembab, dan sering pula bocor.  Semua buku dikarang oleh orang Belanda. Kalau saja orang tua kami bukan priyayi, tak mungkin kami dapat mencicipi pendidikan karena awalnya sekolah rendah di buat hanya untuk para kaum priyayi. Meski pada akhirnya justru malah banyak dimasuki anak golongan rendah. Biasanya kami bermain di halaman lahan luas itu sehabis belajar. Namun kali ini tidak. Kematian seorang guru membuat kami diliburkan.
Aku berdiri tegak di ujung gang sambil menahan nanar di mata karena panas matahari kurasa mampu memberangus kepala kecilku. Masih kutunggu suara gesekan sandal muncul di ujung gang. Suara gesekan sandal Permadi yang  terseok-seok karena terlalu besar untuk kaki kecilnya, hingga tak keseluruhan sandal mampu diangkatnya.
“Huh... lama sekali anak itu muncul!” gerutuku, kesal tak menentu.
Baru saja kubalikkan punggung hendak berlalu, terdengar seokan sandal menggesek-gesek tanah berbatu. Aku girang tak terkira. Seperti yang kuduga, kulihat tampak Permadi lelah mengangkat sandal kayu yang terlalu besar dan berat membebani kaki legamnya. Lalu kami berjalan menuju sawah di ujung kampung. Sambil kutirukan seokan kakinya lalu dia menjambak rambut kucir kudaku. Kami bermain seharian di kaki bukit yang selalu tampak melambai di ujung kampung.
Suatu malam hujan turun begitu deras. Langit tampak marah seakan memaki-maki manusia dengan teriakannya yang menggelegar. Kilat menyambar-nyambar, angin meraung-raung mengerikan. Berbekal sebuah buntalan kain yang entah apa isinya, simbok dan bapak membawaku pergi melampaui hujan badai. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Di jalanan puluhan orang kampung tengah berlarian membawa sesuatu yang mereka panggul di atas kepala mereka. Tubuhku serasa beku menahan dingin air hujan, bahkan untuk menangis pun aku tak punya keberanian. Ibu mencengkeram erat tangan kecilku sambil menarikku setengah berlari. Kami berhenti sesampai di kaki bukit. Kuyub seluruh badan dan hanya diam dan gelap yang merayapi kami. Diam dan menggigil sampai pagi. Permadi, aku teringat Permadi. Bagaimana dan di mana dia? Entahlah, sampai pagi memanggil aku benar-benar tak menemukannya. Dari kaki bukit di terang matahari, baru kutahu bahwa seluruh rumah di kampung kami terendam.
Aku berdiri di kaki bukit yang sama, memandang kampung yang telah 10 tahun ku tinggalkan. Ingatanku kembali pada Permadi. Di mana dia? Seperti apa dia sekarang? Masih hidupkah? Dan banyak lagi pertanyaan berjubel di kepalaku. Sesuatu yang hangat mengalir di wajahku. Hahaha... Tak kupercayai aku menangis untuk seorang Permadi, seorang Permadi dengan sandal kayu yang kedodoran dan dengan langkah yang menyeret-nyeret. Manusia yang bermasalah dengan alas di kakinya. Sudahlah, sejenak kupejamkan mata.
“Hai, perempuan cerewet... apa kabarmu?”
Sebuah suara dengan timbre yang berat mengejutkanku. Hampir saja teriakanku mengisi seluruh bukit, kalau saja laki-laki itu tak menyumbat mulutku dengan tangan kekarnya.
“Kau..!! kau..!!“ teriakku.
“Iyaa.. Ini aku, Surti, kau tak mengenaliku lagi?”
“Permadi? Kamu berubah wujud!!“  aku berteriak sekencang aku bisa. Dia menjambak rambutku yang kukucir kuda, sama seperti 10 tahun lalu ketika aku menirukan seok langkah kakinya.
“Hahahahahaha!!!!” Kami terbahak bersama.
Entah dari mana dia tahu aku ada di kaki bukit ini. Ternyata saat bencana waktu itu kedua orang tua Permadi tak selamat. Dia dibesarkan oleh Mak Sayekti yang dahulu tetangga kami, dimana seluruh keluarga Mak Sayekti hilang entah ke mana.
Pertemuan itu menjadi awal perjalanan cinta kami. Kami menikah dan dibawanya aku ke kota dimana dia mengabdi pada negara sebagai seorang prajurit. Hingga bunga rambut mewarnai kepala kami, kebersamaan tak pernah padam. Rambutku pun tak pernah selamat dari jambakan tangan kekarnya lalu kami terbahak bersama. Jika dahulu aku selalu meledek sandal kayunya, kini aku begitu dibuat bosan oleh bau kaos kakinya yang aromanya bahkan bisa membunuh semua serangga. Bertahun-tahun menikmati bau kaos kakinya, tak juga membuatku terbiasa. Selalu saja aku menggerutu.
“Kakek tua, perih sekali jika mengingatmu. Satu-satunya kejahatanmu padaku adalah saat kau meninggalkanku sendiri dan dengan egois kau pergi menuju pencarianmu akan sebuah alam di atas sana. Meski aku tahu, kau menungguku di sana sambil merokok, mungkin atau bahkan kau tengah terbahak menyaksikan aku melautkan air mata.”
Kejadian di malam itu begitu membuatku rapuh. Aku selalu bermimpi, merasa seperti seorang keriput yang menunggang sapu lidi melesat dari pohon ke genting rumah. Kukejar hiruk binatang berlarian ke sana ke mari tanpa kaki. Lalu, aku terjaga dan kutemukan diriku telah berubah bersayap membayangkan jalan lapang ke surga, hanya untuk menemui si pemilik kaos kaki bau.
 “Surti, di mana kau? Di mana sepatu dan kaos kakiku yang selalu ingin kau buang? Aku harus pergi menemui Pardi malam ini untuk melanjutkan perbincangan tentang deru sepatu lars para serdadu di sebelah gedung tua yang kemarin belum usai.” Suara berat itu berteriak memanggilku.
“Kau hanya bisa berteriak saja, cobalah untuk mencarinya sendiri, kaos kakimu bau, aku tak tahan bau kaos kakimu, Pak Tua!” tentu saja itu hanya sekedar menjawab teriakannya saja.
Perlahan aku mencari sepatu bututnya di mana di dalamnya terdapat sepasang kaos kaki yang sungguh kubenci baunya.  
“Kelak kau akan merindukannya, Surti. Hahahahaha...” tawa renyah dengan suara berat itu membuatku tersenyum.
“Kaos kakimu itu benar-benar bau. Ketika pintu kututup dan kumatikan lampu masih saja bau. Kali ini aku benar-benar tak tahan. Biarpun mataku rabun dan hampir buta, tetapi bau kaos kakimu seperti mengitari dinding-dinding senthong ini, Pak Tua!”
“Itu hanya perasaanmu saja, Surti. Cintamu akan menghilangkan aroma tak sedap yang tak kau sukai itu!” ujarnya sambil menyerutup kopi sisa siang sambil berlalu ke ruang depan.
“O O tidak, Pak Tua. Kaos kakimu benar-benar bau, bahkan sepasang tikus pun menghentikan perayaan besarnya lalu lari terbirit-birit mengelak, menghindar, dan menangkis remahan bau kaos kakimu! Di dunia ini basa-basi lebih berarti, namun tidak bagi sepasang tikus di kolong dipan senthong kita. Bahasa hanya menjelma sebagai angin-angin. Tak pelak sekian lama mencandai bau kaos kakimu, aku masih saja gagal paham.” Kataku sedikit menggerutu.
“ Aku cinta padamu, Surti!” teriakan dari ruang depan itu membuatku luluh, cinta si tua yang selama 47 tahun kupeluk erat dan tak ingin kulepaskan.
Segera ku ayunkan langkahku perlahan menuju ruang depan. Nyeri di tulang pinggul termakan rematik membuatku makin lamban saja.  Lalu kupasangkan kaos kaki dan sepatu legam itu pada kaki keriputnya.
“Masihkah cintamu seperti dulu, perempuan cerewet? Masihkah setebal ketika di kaki bukit dulu?” guraunya sambil meluruskan kaki.
 “Kau sudah tak tampan lagi, Pak Tua. Keriput kulitmu seperti kutukan pada buah jeruk yang mengering!”  ujarku sambil membenahi jaket tebal yang dikenakannya.
 Dia hanya tersenyum dan manatapku lekat seakan tak hendak meninggalkanku walau hanya sekejap. Beberapa meter langkahnya menuju pagar halaman kami, tiba-tiba dia kembali. Aku terhenyak, seakan ada kehangatan yang hilang. Dia mencium keningku lama tanpa kata-kata dan berbalik pergi tanpa memandangku lagi.
 “Hati-hati Pak Tua, kau lupa menjambak rambut kucir kudaku!!” teriakku. Dia melanjutkan langkah tanpa menengok.
Malam itu, dia tak lagi pulang dengan kelakar. Tubuh kakunya diam tak lagi menggodaku. Pardi mengantarnya pulang tanpa nyawa meski senyum nakalnya masih menyisa di wajah dinginnya.
 “Surti, dia pergi tanpa pamit, bahkan saat dia sedang duduk di hadapanku dan sedang mendengarkan ceritaku. Aku berasa seperti pendongeng yang telah membunuhnya dengan dongengku, maafkan aku, Surti.“ Kata Pardi perlahan.
“Haruskah aku menangis, Pak Tua? Tidakkah seharusnya aku marah padamu? Harusnya kau membawaku serta.” Gumamku tanpa tahu lagi, apa yang akan kulalui tanpa Permadi.
“Kakek tua, kulesati alam mimpi yang kau rancang, lalu kau tinggalkan aku sendiri melesatkan tangis di langit dan kudapati tubuhku tengadah ke langit-langit senthong kita tanpa tegur sapa!”  maka aku benar-benar sendiri menghapus jejak, membersihkan bau di sekitar gelap berdebar. Kaos kaki bolong itu tak kan lagi bau.
“Banar katamu, Pak Tua. Aku merindukanmu, menginginkan kata-katamu yang menyebalkan, merindukan kaos kaki baumu, dan jambakanmu pada rambutku yang tinggal beberapa helai saja. Hari demi hari hanyalah menunggu manakala kau akan menjemputku saat tiba waktuku. Cinta menjadikan kita seperti anak-anak yang pandai mencuri kesempatan. Cinta kita bagai sepasang kanak-kanak yang berebut mainan. Cinta yang rahasia mendapat tempat merdeka, di antara debur ombak, keluasan laut dan langit. Terjalin di satu cakrawala. Aku tahu, Pak Tua. Kau menguji cintaku.”

Solo, 29 September 2015
                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar