KAOS KAKI BAU
Matahari lebih
cepat naik di antara rimbun daun. Tergagap tiba-tiba, tubuhku terlempar
menggelinding, tersungkur di bawah dipan tepat di samping sepatu tua yang
tersimpan kaos kaki bolong itu. Aku mendengar sayup suara dari jauh, di udara
yang belum lumpuh seluruh, merambat kian dekat ingin mencumbu dengan perih
dalam benakku. Tubuhku diam tak bergeming
meresap ke mimpi anak-anak selembut kabut bukit di ujung sana. Mataku
merekam sajak-sajak penyair tanpa pembaca, sambil menahan rasa pedas di hulu
hati. Terpana seketika tak kutemui bau kaos kakimu. Tak ada apapun, kecuali
sunyi sajakku.
“Aku rindu
padamu kakek tua, dasar pengecut, kau tak berani membawaku serta!” gerutuku
lirih, jenuh melawan waktu menahan rindu yang meruyak tumbuh. Sejenak kupandang
jauh gugus awan beringsut yang serupa perahu butuh melabuh. Biarlah kutulis
sebisaku perjalanan, dimana kau rampas sesuatu yang selalu mengingatku
tentangmu, kaos kaki bolongmu tak lagi bau karena kau bawa serta dalam nisan
kayu kecil, di barat kampung sebelah. Sejenak mataku nanar menuju bertahun
lalu, ketika semua masih tertulis dengan kata “kami”.
Sekolah Rakyat (Schakel School) yang dua tahun telah menjadi tempat kami belajar membaca,
menulis, bahasa (daerah/melayu), dan berhitung begitu sepi. Gedung yang terlalu
kecil, kurang penerangan, kurang ventilasi, lembab, dan sering pula bocor. Semua buku dikarang oleh orang Belanda. Kalau
saja orang tua kami bukan priyayi, tak mungkin kami dapat mencicipi pendidikan
karena awalnya sekolah rendah di buat hanya untuk para kaum priyayi. Meski pada
akhirnya justru malah banyak dimasuki anak golongan rendah. Biasanya kami
bermain di halaman lahan luas itu sehabis belajar. Namun kali ini tidak.
Kematian seorang guru membuat kami diliburkan.
Aku berdiri
tegak di ujung gang sambil menahan nanar di mata karena panas matahari kurasa
mampu memberangus kepala kecilku. Masih kutunggu suara gesekan sandal muncul di
ujung gang. Suara gesekan sandal Permadi yang
terseok-seok karena terlalu besar untuk kaki kecilnya, hingga tak keseluruhan
sandal mampu diangkatnya.
“Huh... lama
sekali anak itu muncul!” gerutuku, kesal tak menentu.
Baru saja
kubalikkan punggung hendak berlalu, terdengar seokan sandal menggesek-gesek
tanah berbatu. Aku girang tak terkira. Seperti yang kuduga, kulihat tampak
Permadi lelah mengangkat sandal kayu yang terlalu besar dan berat membebani
kaki legamnya. Lalu kami berjalan menuju sawah di ujung kampung. Sambil
kutirukan seokan kakinya lalu dia menjambak rambut kucir kudaku. Kami bermain
seharian di kaki bukit yang selalu tampak melambai di ujung kampung.
Suatu malam
hujan turun begitu deras. Langit tampak marah seakan memaki-maki manusia dengan
teriakannya yang menggelegar. Kilat menyambar-nyambar, angin meraung-raung
mengerikan. Berbekal sebuah buntalan kain yang entah apa isinya, simbok dan
bapak membawaku pergi melampaui hujan badai. Aku tak mengerti apa yang terjadi.
Di jalanan puluhan orang kampung tengah berlarian membawa sesuatu yang mereka
panggul di atas kepala mereka. Tubuhku serasa beku menahan dingin air hujan, bahkan
untuk menangis pun aku tak punya keberanian. Ibu mencengkeram erat tangan
kecilku sambil menarikku setengah berlari. Kami berhenti sesampai di kaki
bukit. Kuyub seluruh badan dan hanya diam dan gelap yang merayapi kami. Diam
dan menggigil sampai pagi. Permadi, aku teringat Permadi. Bagaimana dan di mana
dia? Entahlah, sampai pagi memanggil aku benar-benar tak menemukannya. Dari
kaki bukit di terang matahari, baru kutahu bahwa seluruh rumah di kampung kami
terendam.
Aku berdiri di kaki
bukit yang sama, memandang kampung yang telah 10 tahun ku tinggalkan. Ingatanku
kembali pada Permadi. Di mana dia? Seperti apa dia sekarang? Masih hidupkah?
Dan banyak lagi pertanyaan berjubel di kepalaku. Sesuatu yang hangat mengalir
di wajahku. Hahaha... Tak kupercayai aku menangis untuk seorang Permadi,
seorang Permadi dengan sandal kayu yang kedodoran dan dengan langkah yang
menyeret-nyeret. Manusia yang bermasalah dengan alas di kakinya. Sudahlah,
sejenak kupejamkan mata.
“Hai, perempuan
cerewet... apa kabarmu?”
Sebuah suara
dengan timbre yang berat mengejutkanku. Hampir saja teriakanku mengisi seluruh
bukit, kalau saja laki-laki itu tak menyumbat mulutku dengan tangan kekarnya.
“Kau..!! kau..!!“
teriakku.
“Iyaa.. Ini aku,
Surti, kau tak mengenaliku lagi?”
“Permadi? Kamu
berubah wujud!!“ aku berteriak sekencang
aku bisa. Dia menjambak rambutku yang kukucir kuda, sama seperti 10 tahun lalu
ketika aku menirukan seok langkah kakinya.
“Hahahahahaha!!!!”
Kami terbahak bersama.
Entah dari mana
dia tahu aku ada di kaki bukit ini. Ternyata saat bencana waktu itu kedua orang
tua Permadi tak selamat. Dia dibesarkan oleh Mak Sayekti yang dahulu tetangga kami,
dimana seluruh keluarga Mak Sayekti hilang entah ke mana.
Pertemuan itu
menjadi awal perjalanan cinta kami. Kami menikah dan dibawanya aku ke kota
dimana dia mengabdi pada negara sebagai seorang prajurit. Hingga bunga rambut
mewarnai kepala kami, kebersamaan tak pernah padam. Rambutku pun tak pernah
selamat dari jambakan tangan kekarnya lalu kami terbahak bersama. Jika dahulu
aku selalu meledek sandal kayunya, kini aku begitu dibuat bosan oleh bau kaos
kakinya yang aromanya bahkan bisa membunuh semua serangga. Bertahun-tahun
menikmati bau kaos kakinya, tak juga membuatku terbiasa. Selalu saja aku
menggerutu.
“Kakek tua,
perih sekali jika mengingatmu. Satu-satunya kejahatanmu padaku adalah saat kau
meninggalkanku sendiri dan dengan egois kau pergi menuju pencarianmu akan
sebuah alam di atas sana. Meski aku tahu, kau menungguku di sana sambil
merokok, mungkin atau bahkan kau tengah terbahak menyaksikan aku melautkan air
mata.”
Kejadian di
malam itu begitu membuatku rapuh. Aku selalu bermimpi, merasa seperti seorang
keriput yang menunggang sapu lidi melesat dari pohon ke genting rumah. Kukejar
hiruk binatang berlarian ke sana ke mari tanpa kaki. Lalu, aku terjaga dan
kutemukan diriku telah berubah bersayap membayangkan jalan lapang ke surga,
hanya untuk menemui si pemilik kaos kaki bau.
“Surti, di mana kau? Di mana sepatu dan kaos
kakiku yang selalu ingin kau buang? Aku harus pergi menemui Pardi malam ini
untuk melanjutkan perbincangan tentang deru sepatu lars para serdadu di sebelah
gedung tua yang kemarin belum usai.” Suara berat itu berteriak memanggilku.
“Kau hanya bisa
berteriak saja, cobalah untuk mencarinya sendiri, kaos kakimu bau, aku tak tahan
bau kaos kakimu, Pak Tua!” tentu saja itu hanya sekedar menjawab teriakannya
saja.
Perlahan aku
mencari sepatu bututnya di mana di dalamnya terdapat sepasang kaos kaki yang
sungguh kubenci baunya.
“Kelak kau akan
merindukannya, Surti. Hahahahaha...” tawa renyah dengan suara berat itu
membuatku tersenyum.
“Kaos kakimu itu
benar-benar bau. Ketika pintu kututup dan kumatikan lampu masih saja bau. Kali
ini aku benar-benar tak tahan. Biarpun mataku rabun dan hampir buta, tetapi bau
kaos kakimu seperti mengitari dinding-dinding senthong ini, Pak Tua!”
“Itu hanya
perasaanmu saja, Surti. Cintamu akan menghilangkan aroma tak sedap yang tak kau
sukai itu!” ujarnya sambil menyerutup kopi sisa siang sambil berlalu ke ruang
depan.
“O O tidak, Pak
Tua. Kaos kakimu benar-benar bau, bahkan sepasang tikus pun menghentikan
perayaan besarnya lalu lari terbirit-birit mengelak, menghindar, dan menangkis
remahan bau kaos kakimu! Di dunia ini basa-basi lebih berarti, namun tidak bagi
sepasang tikus di kolong dipan senthong kita. Bahasa hanya menjelma sebagai
angin-angin. Tak pelak sekian lama mencandai bau kaos kakimu, aku masih saja
gagal paham.” Kataku sedikit menggerutu.
“ Aku cinta
padamu, Surti!” teriakan dari ruang depan itu membuatku luluh, cinta si tua
yang selama 47 tahun kupeluk erat dan tak ingin kulepaskan.
Segera ku
ayunkan langkahku perlahan menuju ruang depan. Nyeri di tulang pinggul termakan
rematik membuatku makin lamban saja.
Lalu kupasangkan kaos kaki dan sepatu legam itu pada kaki keriputnya.
“Masihkah
cintamu seperti dulu, perempuan cerewet? Masihkah setebal ketika di kaki bukit
dulu?” guraunya sambil meluruskan kaki.
“Kau sudah tak tampan lagi, Pak Tua. Keriput
kulitmu seperti kutukan pada buah jeruk yang mengering!” ujarku sambil membenahi jaket tebal yang
dikenakannya.
Dia hanya tersenyum dan manatapku lekat seakan
tak hendak meninggalkanku walau hanya sekejap. Beberapa meter langkahnya menuju
pagar halaman kami, tiba-tiba dia kembali. Aku terhenyak, seakan ada kehangatan
yang hilang. Dia mencium keningku lama tanpa kata-kata dan berbalik pergi tanpa
memandangku lagi.
“Hati-hati Pak Tua, kau lupa menjambak rambut
kucir kudaku!!” teriakku. Dia melanjutkan langkah tanpa menengok.
Malam itu, dia
tak lagi pulang dengan kelakar. Tubuh kakunya diam tak lagi menggodaku. Pardi
mengantarnya pulang tanpa nyawa meski senyum nakalnya masih menyisa di wajah
dinginnya.
“Surti, dia pergi tanpa pamit, bahkan saat dia
sedang duduk di hadapanku dan sedang mendengarkan ceritaku. Aku berasa seperti
pendongeng yang telah membunuhnya dengan dongengku, maafkan aku, Surti.“ Kata
Pardi perlahan.
“Haruskah aku
menangis, Pak Tua? Tidakkah seharusnya aku marah padamu? Harusnya kau membawaku
serta.” Gumamku tanpa tahu lagi, apa yang akan kulalui tanpa Permadi.
“Kakek tua,
kulesati alam mimpi yang kau rancang, lalu kau tinggalkan aku sendiri
melesatkan tangis di langit dan kudapati tubuhku tengadah ke langit-langit
senthong kita tanpa tegur sapa!” maka
aku benar-benar sendiri menghapus jejak, membersihkan bau di sekitar gelap
berdebar. Kaos kaki bolong itu tak kan lagi bau.
“Banar katamu,
Pak Tua. Aku merindukanmu, menginginkan kata-katamu yang menyebalkan,
merindukan kaos kaki baumu, dan jambakanmu pada rambutku yang tinggal beberapa
helai saja. Hari demi hari hanyalah menunggu manakala kau akan menjemputku saat
tiba waktuku. Cinta menjadikan kita seperti anak-anak yang pandai mencuri
kesempatan. Cinta kita bagai sepasang kanak-kanak yang berebut mainan. Cinta
yang rahasia mendapat tempat merdeka, di antara debur ombak, keluasan laut dan
langit. Terjalin di satu cakrawala. Aku tahu, Pak Tua. Kau menguji cintaku.”
Solo,
29 September 2015