Jumat, 16 Oktober 2015

GONG KEMATIAN UNTUKMU KORUPTOR



GONG KEMATIAN UNTUKMU KORUPTOR
Karya Almira Salsabilla Gita Indraswari

Dari ruas langit yang sama, aku memandangmu dengan ludah yang ingin kusiramkan ke wajah dengan tawa menjijikkan
Manusia yang menanak bunga bangkai di tiap makan lahapnya
Kita tak saling kenal..
Tapi dari remah makanan yang kau tinggalkan di sudut meja makanmu, adalah lapar yang kau cipta dari hak para penerima petaka
Tak usah kau bicara dengan bahasa yang hampa
Kami tahu kau durhaka dunia
Merampas hak para miskin untuk kau hamburkan demi perutmu hingga kejang

Tahukan kau..
Dasi-dasi kerenmu kelak akan mencekikmu
Bagai hantu yang mengintai tiap jengkah langitmu
Langit yang kau garuk-garuk..
Kau cakar-cakar..
Kau jelmakan kegigihan mengendalikan dosa, tanpa enggan
Hanya waktu saja yang kelak membawamu dalam bui
Jika dalihmu telah habis dan kau tak lagi bisa menjerat para pemberani mencabutmu dari tahta
Jika kuasamu telah habis untuk mengubur para pemberantas

Bahkan mungkin saat bui di rangkumanmu pun
Leluasa kau pergi menantang dunia
Pamer..
Pongah..
Kebenaran kau jungkir balikkan
Tawamu masih menggelegar dengan bau nafas busuk sisa remahan bangkai
Kunikmati kekurangajaranmu, biadab!!
Kesombonganmu melampaui antena di ubun-ubun menara
Mengibarkan kebrengsekanmu!
Di bukit nista kota besar

Jangan kau pikir dengan menyebut ayat-ayat Tuhan dapat membuatmu tampak ganteng dan cantik
Bahkan kau tak lebih baik dari tubuh kumal dan telanjang kami yang penuh daki
Pernahkah kau lihat?
Tubuh kami mengejang menahan kering
Lapar adalah hari-hari
Bahkan keinginan untuk mencuri seremah roti keringpun kami tahan ketika sirine menyambar-nyambar
Sementara kau curi milyaran seruas angkasa yang bagi kami adalah angan-angan dengan wajah palsu selembut bayu
Membawa anak istri atau suamimu dalam gembira dosa, bahkan kau tebar neraka bersama istri-istri simpananmu atau laki-laki simpananmu
Kau sadar?
Kau bangun tiang-tiang istanamu dari darah busuk yang kau curi dari jatah makan kami

Barangkali lantaran terbiasa berdusta
Para pemberani pemberantas korupsi sulit menghadapi licin bibir dinginmu
Pedang tajamnya tak lagi punya arti
Sebelum kau tertangkap, kau tangkap mereka dengan selaksa dalih
Waktu menyeret detak detiknya
Debu masa menggelayut jarum jam
Hanya kematian lawan terbaik bagimu.. pasti!!
Menghentikanmu dari bahak menjijikan..pasti!!

~bill Solo, 03-10-2015

Kamis, 01 Oktober 2015

MENAFSIR “ATHEIS” DALAM SUDUT PANDANG MORAL BERAGAMA






MENAFSIR “ATHEIS” DALAM SUDUT PANDANG MORAL BERAGAMA


RESENSI BUKU NOVEL FIKSI
DENGAN JUDUL
 “ATHEIS” – ACHDIAT K. MIHARDJA

Oleh
Almira Salsabilla Gita Indraswari
SMA Negeri 1
Surakarta

Dalam
Lomba Resensi Buku Tingkat SMP/Sederajat, SMA/Sederajat, Perguruan Tinggi Se-Solo Raya
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah
Kota Surakarta
2015



Judul Buku                           : Atheis
Pengarang                            : Achdiat K. Mihardja
Penerbit                                 : PT. Balai Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit & Cetakan     :  Cetakan ke-35, 2011
Dimensi Buku                      : 21 cm x 15 cm, 252 halaman
Harga Buku                          : Rp. 62.000,-

A.   Sinopsis
Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampung kecil, yaitu Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya adalah orang saleh yang taat beribadah. Sejak kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Makin dewasa ia makin taat menjalankan perintah agama dan dongeng-dongeng tentang neraka tidak luntur, melainkan makin menempel terus dalam hatinya. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam. Dapat dikatakan Hasan adalah seorang penganut agama Islam yang sangat fanatik.
Hasan memulai kehidupan baru bersekolah di Kota Bandung dan tinggal bersama bibinya, kemudian setelah dewasa ia bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah, sebagai penjual tiket kapal. Di sana ia berkenalan dengan Rukmini dan menjalin hubungan dengannya. Orang tua Hasan masih keturunan raden, mereka menyarankan agar Hasan memilih wanita sederajat. Namun Rukmini bukanlah dari kalangan yang sama dengan keluarganya. Pada akhirnya orang tua Rukmini menikahkannya dengan seorang saudagar kaya dari Jakarta. Hasan merasa kecewa dan sakit hati. Sejak saat itu Hasan berniat meningkatkan ibadahnya agar lebih dekat dengan sang Pencipta. Ia pun mengikuti jejak ayahnya menganut ilmu tarekat.
Suatu ketika Hasan bertemu dengan Rusli yang merupakan sahabatnya saat kanak-kanak. Di sanalah ia melihat seorang gadis cantik yang mempesonanya pada pandangan pertama. Gadis itu bernama Kartini. Kartini adalah seorang janda. Dahulu ia dinikahkan paksa oleh orang tuanya dengan seorang lelaki arab tua kaya raya yang pantas disebut kakek. Ketika bercerai dari suaminya ia membawa banyak warisan. Kartini dan Rusli sangat akrab, namun hanya sebatas hubungan kakak adik saja. Kartini menganggap Rusli adalah pelindungnya. Rusli pun memperkenalkan Kartini kepada Hasan.

Sejak pertemuan itu, Hasan menaruh hati pada Kartini dan menjadi sering mampir ke tempat Rusli. Mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli, Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis. Ia sering berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawan. Hasan mulai berubah terutama menyangkut sisi religiusitas yang selama ini ia pegang teguh. Ideologi marxis sangat bertentangan dengan pemahaman keagamaan yang dipeluknya selama ini. Pada awalnya ia berusaha melawan jalan pemikiran mereka, namun pada akhirnya Hasan menyerah, apalagi ketika Anwar, teman Rusli yang seorang atheis mempengaruhinya. Kesalehan yang melekat dalam dirinya mulai luntur. Ia mulai meragukan keberadaan Tuhan dan mulai tak taat beribadah. Bahkan ia berani berterus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan barunya itu. Tentu saja untuk itu Hasan harus membayar mahal yaitu perpisahan dengan orang tuanya.
Kepercayaan terhadap Tuhan benar-benar luntur saat ia menjalani hubungan dengan Kartini, seorang wanita yang juga menganut aliran atheisme. Hasan dan Kartini akhirnya menikah meski tak direstui oleh orang tuanya bahkan mengusirnya dan tak lagi menganggap ia sebagai anak. Pernikahan mereka diwarnai dengan pertengkaran. Hasan tak menyukai gaya hidup modern Kartini. Hasan berpikir istrinya berselingkuh dengan Anwar meski Kartini tetap mengelak. Hingga pada akhirnya mereka pun bercerai. Kesadaran datang dalam dirinya, ia merasa berdosa tidak hanya pada kedua orang tuanya namun juga pada Allah. Ia menyesal telah meninggalkan nilai-nilai keagamaan dalam dirinya. Ia segera pulang untuk bersujud di kaki ayahnya yang sakit parah. Namun sang ayah tak sudi memaafkannya dan menyuruhnya pergi. Hasan yang kurus dan berpenyakit paru-paru itu menangis tersedu-sedu. Meninggalnya sang ayah menjadikan Hasan begitu terpuruk. Dia merasa telah jatuh dalam dosa yang tak akan lama lagi membawanya ke dalam neraka, tempat yang selalu ditakutinya dari semenjak ia kecil. Pada akhirnya  ia kembali bertasbih persis seperti dahulu.
Ketika ia pergi ke sebuah hotel, ia mendapati fakta dari Amat si pelayan hotel bahwa dua bulan yang lalu saat ia dan istrinya bertengkar, saat istrinya kabur dari rumah,  Anwar pernah berniat memperkosa Kartini di salah satu kamar hotel itu. Dengan kemarahan ia pun pergi mencari Anwar. Ia tak peduli bahwa saat itu sedang terjadi jam malam sehingga ia tertembak oleh tentara Jepang (Kusyu Heiho) yang mengira ia adalah mata-mata karena ia berlari membabi buta. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru.  Pada akhir hayatnya, Hasan masih sempat mengucapkan “Allahu Akbar” sebagai tanda keimanannya.

B.   Penilaian
Tema dalam novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan, menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya. Mengulas masalah etika dan agama. Kisah bagaimana kehidupan agama seseorang yang penangkapan agamanya setengah-setengah, baik karena pendidikan agamanya yang lemah maupun kehidupan modern yang menjadi lingkungan di kota besar. Sebuah pergeseran gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern. Tema yang sangat memikat dan pantas jika novel ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi pelajar dan mahasiswa. Selain itu banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa personifikasi. Hal ini terlihat dari beberapa kalimat yang digunakan yaitu membandingkan sesuatu dengan orang. Sehingga novel ini sangat menarik dan indah untuk dibaca. Menggunakan latar waktu, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa dan Menggunakan alur sorot balik / flash back.

C.   Keunggulan dan Kelemahan
Keunggulan novel “atheis” karya Achdiat K. Mihardja banyak mengandung pesan moral dan pendidikan yang dapat menjadi panutan bagi para pembaca. Jalan cerita yang menarik dan sulit ditebak sehingga pembaca akan merasa tertarik untuk membaca halaman demi halaman tanpa bosan. Novel ini menggunakan bahasa yang cukup komunikatif sehingga mudah dipahami maknanya. Sedangkan kelemahannya adalah terlalu banyak alur sampingan yang disisipkan sehingga membingungkan pembaca.

D.   Kesimpulan dan Saran
Banyak amanat yang dapat kita ambil dari novel ini. Seakan kita diingatkan tentang kehidupan orang yang fanatik tapi sempit dalam menjalankan kehidupan agamanya, dimana hanya memikirkan urusan akhirat. Padahal Tuhan memerintahkan manusia beribadah dengan tidak melupakan kewajiban sebagai manusia di dunia. Ketaatan Hasan bersembahyang, melakukan ibadah semata-mata karena ketakutannya pada neraka. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan serta manusia dengan manusia sangat utama. Bacaan ini sangat bagus dan selayaknya menjadi bacaan wajib pelajar dan mahasiswa.

CERPEN KAOS KAKI BAU





KAOS KAKI BAU

Matahari lebih cepat naik di antara rimbun daun. Tergagap tiba-tiba, tubuhku terlempar menggelinding, tersungkur di bawah dipan tepat di samping sepatu tua yang tersimpan kaos kaki bolong itu. Aku mendengar sayup suara dari jauh, di udara yang belum lumpuh seluruh, merambat kian dekat ingin mencumbu dengan perih dalam benakku. Tubuhku diam tak bergeming  meresap ke mimpi anak-anak selembut kabut bukit di ujung sana. Mataku merekam sajak-sajak penyair tanpa pembaca, sambil menahan rasa pedas di hulu hati. Terpana seketika tak kutemui bau kaos kakimu. Tak ada apapun, kecuali sunyi sajakku.
“Aku rindu padamu kakek tua, dasar pengecut, kau tak berani membawaku serta!” gerutuku lirih, jenuh melawan waktu menahan rindu yang meruyak tumbuh. Sejenak kupandang jauh gugus awan beringsut yang serupa perahu butuh melabuh. Biarlah kutulis sebisaku perjalanan, dimana kau rampas sesuatu yang selalu mengingatku tentangmu, kaos kaki bolongmu tak lagi bau karena kau bawa serta dalam nisan kayu kecil, di barat kampung sebelah. Sejenak mataku nanar menuju bertahun lalu, ketika semua masih tertulis dengan kata “kami”.
Sekolah Rakyat (Schakel School) yang dua tahun telah menjadi tempat kami belajar membaca, menulis, bahasa (daerah/melayu), dan berhitung begitu sepi. Gedung yang terlalu kecil, kurang penerangan, kurang ventilasi, lembab, dan sering pula bocor.  Semua buku dikarang oleh orang Belanda. Kalau saja orang tua kami bukan priyayi, tak mungkin kami dapat mencicipi pendidikan karena awalnya sekolah rendah di buat hanya untuk para kaum priyayi. Meski pada akhirnya justru malah banyak dimasuki anak golongan rendah. Biasanya kami bermain di halaman lahan luas itu sehabis belajar. Namun kali ini tidak. Kematian seorang guru membuat kami diliburkan.
Aku berdiri tegak di ujung gang sambil menahan nanar di mata karena panas matahari kurasa mampu memberangus kepala kecilku. Masih kutunggu suara gesekan sandal muncul di ujung gang. Suara gesekan sandal Permadi yang  terseok-seok karena terlalu besar untuk kaki kecilnya, hingga tak keseluruhan sandal mampu diangkatnya.
“Huh... lama sekali anak itu muncul!” gerutuku, kesal tak menentu.
Baru saja kubalikkan punggung hendak berlalu, terdengar seokan sandal menggesek-gesek tanah berbatu. Aku girang tak terkira. Seperti yang kuduga, kulihat tampak Permadi lelah mengangkat sandal kayu yang terlalu besar dan berat membebani kaki legamnya. Lalu kami berjalan menuju sawah di ujung kampung. Sambil kutirukan seokan kakinya lalu dia menjambak rambut kucir kudaku. Kami bermain seharian di kaki bukit yang selalu tampak melambai di ujung kampung.
Suatu malam hujan turun begitu deras. Langit tampak marah seakan memaki-maki manusia dengan teriakannya yang menggelegar. Kilat menyambar-nyambar, angin meraung-raung mengerikan. Berbekal sebuah buntalan kain yang entah apa isinya, simbok dan bapak membawaku pergi melampaui hujan badai. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Di jalanan puluhan orang kampung tengah berlarian membawa sesuatu yang mereka panggul di atas kepala mereka. Tubuhku serasa beku menahan dingin air hujan, bahkan untuk menangis pun aku tak punya keberanian. Ibu mencengkeram erat tangan kecilku sambil menarikku setengah berlari. Kami berhenti sesampai di kaki bukit. Kuyub seluruh badan dan hanya diam dan gelap yang merayapi kami. Diam dan menggigil sampai pagi. Permadi, aku teringat Permadi. Bagaimana dan di mana dia? Entahlah, sampai pagi memanggil aku benar-benar tak menemukannya. Dari kaki bukit di terang matahari, baru kutahu bahwa seluruh rumah di kampung kami terendam.
Aku berdiri di kaki bukit yang sama, memandang kampung yang telah 10 tahun ku tinggalkan. Ingatanku kembali pada Permadi. Di mana dia? Seperti apa dia sekarang? Masih hidupkah? Dan banyak lagi pertanyaan berjubel di kepalaku. Sesuatu yang hangat mengalir di wajahku. Hahaha... Tak kupercayai aku menangis untuk seorang Permadi, seorang Permadi dengan sandal kayu yang kedodoran dan dengan langkah yang menyeret-nyeret. Manusia yang bermasalah dengan alas di kakinya. Sudahlah, sejenak kupejamkan mata.
“Hai, perempuan cerewet... apa kabarmu?”
Sebuah suara dengan timbre yang berat mengejutkanku. Hampir saja teriakanku mengisi seluruh bukit, kalau saja laki-laki itu tak menyumbat mulutku dengan tangan kekarnya.
“Kau..!! kau..!!“ teriakku.
“Iyaa.. Ini aku, Surti, kau tak mengenaliku lagi?”
“Permadi? Kamu berubah wujud!!“  aku berteriak sekencang aku bisa. Dia menjambak rambutku yang kukucir kuda, sama seperti 10 tahun lalu ketika aku menirukan seok langkah kakinya.
“Hahahahahaha!!!!” Kami terbahak bersama.
Entah dari mana dia tahu aku ada di kaki bukit ini. Ternyata saat bencana waktu itu kedua orang tua Permadi tak selamat. Dia dibesarkan oleh Mak Sayekti yang dahulu tetangga kami, dimana seluruh keluarga Mak Sayekti hilang entah ke mana.
Pertemuan itu menjadi awal perjalanan cinta kami. Kami menikah dan dibawanya aku ke kota dimana dia mengabdi pada negara sebagai seorang prajurit. Hingga bunga rambut mewarnai kepala kami, kebersamaan tak pernah padam. Rambutku pun tak pernah selamat dari jambakan tangan kekarnya lalu kami terbahak bersama. Jika dahulu aku selalu meledek sandal kayunya, kini aku begitu dibuat bosan oleh bau kaos kakinya yang aromanya bahkan bisa membunuh semua serangga. Bertahun-tahun menikmati bau kaos kakinya, tak juga membuatku terbiasa. Selalu saja aku menggerutu.
“Kakek tua, perih sekali jika mengingatmu. Satu-satunya kejahatanmu padaku adalah saat kau meninggalkanku sendiri dan dengan egois kau pergi menuju pencarianmu akan sebuah alam di atas sana. Meski aku tahu, kau menungguku di sana sambil merokok, mungkin atau bahkan kau tengah terbahak menyaksikan aku melautkan air mata.”
Kejadian di malam itu begitu membuatku rapuh. Aku selalu bermimpi, merasa seperti seorang keriput yang menunggang sapu lidi melesat dari pohon ke genting rumah. Kukejar hiruk binatang berlarian ke sana ke mari tanpa kaki. Lalu, aku terjaga dan kutemukan diriku telah berubah bersayap membayangkan jalan lapang ke surga, hanya untuk menemui si pemilik kaos kaki bau.
 “Surti, di mana kau? Di mana sepatu dan kaos kakiku yang selalu ingin kau buang? Aku harus pergi menemui Pardi malam ini untuk melanjutkan perbincangan tentang deru sepatu lars para serdadu di sebelah gedung tua yang kemarin belum usai.” Suara berat itu berteriak memanggilku.
“Kau hanya bisa berteriak saja, cobalah untuk mencarinya sendiri, kaos kakimu bau, aku tak tahan bau kaos kakimu, Pak Tua!” tentu saja itu hanya sekedar menjawab teriakannya saja.
Perlahan aku mencari sepatu bututnya di mana di dalamnya terdapat sepasang kaos kaki yang sungguh kubenci baunya.  
“Kelak kau akan merindukannya, Surti. Hahahahaha...” tawa renyah dengan suara berat itu membuatku tersenyum.
“Kaos kakimu itu benar-benar bau. Ketika pintu kututup dan kumatikan lampu masih saja bau. Kali ini aku benar-benar tak tahan. Biarpun mataku rabun dan hampir buta, tetapi bau kaos kakimu seperti mengitari dinding-dinding senthong ini, Pak Tua!”
“Itu hanya perasaanmu saja, Surti. Cintamu akan menghilangkan aroma tak sedap yang tak kau sukai itu!” ujarnya sambil menyerutup kopi sisa siang sambil berlalu ke ruang depan.
“O O tidak, Pak Tua. Kaos kakimu benar-benar bau, bahkan sepasang tikus pun menghentikan perayaan besarnya lalu lari terbirit-birit mengelak, menghindar, dan menangkis remahan bau kaos kakimu! Di dunia ini basa-basi lebih berarti, namun tidak bagi sepasang tikus di kolong dipan senthong kita. Bahasa hanya menjelma sebagai angin-angin. Tak pelak sekian lama mencandai bau kaos kakimu, aku masih saja gagal paham.” Kataku sedikit menggerutu.
“ Aku cinta padamu, Surti!” teriakan dari ruang depan itu membuatku luluh, cinta si tua yang selama 47 tahun kupeluk erat dan tak ingin kulepaskan.
Segera ku ayunkan langkahku perlahan menuju ruang depan. Nyeri di tulang pinggul termakan rematik membuatku makin lamban saja.  Lalu kupasangkan kaos kaki dan sepatu legam itu pada kaki keriputnya.
“Masihkah cintamu seperti dulu, perempuan cerewet? Masihkah setebal ketika di kaki bukit dulu?” guraunya sambil meluruskan kaki.
 “Kau sudah tak tampan lagi, Pak Tua. Keriput kulitmu seperti kutukan pada buah jeruk yang mengering!”  ujarku sambil membenahi jaket tebal yang dikenakannya.
 Dia hanya tersenyum dan manatapku lekat seakan tak hendak meninggalkanku walau hanya sekejap. Beberapa meter langkahnya menuju pagar halaman kami, tiba-tiba dia kembali. Aku terhenyak, seakan ada kehangatan yang hilang. Dia mencium keningku lama tanpa kata-kata dan berbalik pergi tanpa memandangku lagi.
 “Hati-hati Pak Tua, kau lupa menjambak rambut kucir kudaku!!” teriakku. Dia melanjutkan langkah tanpa menengok.
Malam itu, dia tak lagi pulang dengan kelakar. Tubuh kakunya diam tak lagi menggodaku. Pardi mengantarnya pulang tanpa nyawa meski senyum nakalnya masih menyisa di wajah dinginnya.
 “Surti, dia pergi tanpa pamit, bahkan saat dia sedang duduk di hadapanku dan sedang mendengarkan ceritaku. Aku berasa seperti pendongeng yang telah membunuhnya dengan dongengku, maafkan aku, Surti.“ Kata Pardi perlahan.
“Haruskah aku menangis, Pak Tua? Tidakkah seharusnya aku marah padamu? Harusnya kau membawaku serta.” Gumamku tanpa tahu lagi, apa yang akan kulalui tanpa Permadi.
“Kakek tua, kulesati alam mimpi yang kau rancang, lalu kau tinggalkan aku sendiri melesatkan tangis di langit dan kudapati tubuhku tengadah ke langit-langit senthong kita tanpa tegur sapa!”  maka aku benar-benar sendiri menghapus jejak, membersihkan bau di sekitar gelap berdebar. Kaos kaki bolong itu tak kan lagi bau.
“Banar katamu, Pak Tua. Aku merindukanmu, menginginkan kata-katamu yang menyebalkan, merindukan kaos kaki baumu, dan jambakanmu pada rambutku yang tinggal beberapa helai saja. Hari demi hari hanyalah menunggu manakala kau akan menjemputku saat tiba waktuku. Cinta menjadikan kita seperti anak-anak yang pandai mencuri kesempatan. Cinta kita bagai sepasang kanak-kanak yang berebut mainan. Cinta yang rahasia mendapat tempat merdeka, di antara debur ombak, keluasan laut dan langit. Terjalin di satu cakrawala. Aku tahu, Pak Tua. Kau menguji cintaku.”

Solo, 29 September 2015